Bukan Buta Hati

Bulan dihempaskan malam, mengganti surya. Kunang-kunang bermandikan cahaya keemasan yang betebaran, terbang bergerombol. Bias dewi malam mengibaskan sesosok wajah dengan guratan indah. Memikat nan mempesona, membentuk bingkai paras cantik seorang gadis. Indah. Indah namanya. Gadis cantik yang mempesona dengan kesahajaannya. Dibalik kecantikannya, tersimpan sebuah rahasia.
Melody anak dari pengusaha kaya yang ternama di Jakarta, namun ia memilih tinggal di Palembang bersama sang nenek. Papa dan Mamanya disibukan oleh rutinitas masing-masing. Sementara Rafael, keluarganya sudah broken home. Dia ikut Bundanya, orang Palembang tulen. Sudah banyak yang datang melamar sang Bunda, namun komitmennya membuat ia tak ingin menikah lagi. Sisa hidupnya diabdikan pada anak semata wayang yang sangat ia cintai.
Nyimas bekerja sebagai disainer pakaian. Memadukan bahan songket dangan gaya yang modern agar diterima masyarakat luas, baik orang dewasa maupun remaja. Sejak kecil Nyimas selalu girang mendengarkan ketukan belira untuk menyusun helai demi helai benang, berpadu dengan kecepatan tangan ibu-ibu yang sedang menenun kain songket Palembang yang tersohor sejak zaman kerajaan Sriwijaya. Perpaduan benang emas membuat kain songket makin terlihat mewah dan elegan, belum lagi motifnya yang beragam. Ada motif tiga negara, kristal, dan lain sebagainya.
“Rafael, kamu ninggalin aku!” wajah ketus Melody membuat Rafael tertawa lepas.
“Kamu yang jalannya lelet.” Balas Rafael sambil tersenyum manis. Gigi susunya yang tertata rapi, putih bersih, membuat Melody iri.
Langkah kaki Rafael makin menjauh dari Melody sampai akhirnya berhenti di sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas untuk ditumbuhi pepohonan dan ditanami bunga-bunga cantik. Kedua orang itu menatap satu arah. Pandangan mereka mengarah pada sebuah jendela kamar yang dihinggapi burung gereja. Seorang gadis sedang bernyanyi disana dan mengengam sejumput roti. Remah-remahnya berjatuhan. Dua ekor burung gereja hinggap pula disana berbagi serpihan roti yang ditaburkan Gadis tersebut.
“Heyyy...!!” tangan Melody turun naik menyadarkan Rafael dari lamunannya.
“Gadis itu siapa, Mel?” tanya Rafeal penasaran.
“Gak tau tuh, aku kan gak pernah kesini. Harusnya aku tanya ke kamu, Raf.” Bibir Melody manyun, menunjukan kekesalan gaya anak ABG.
“Ya udah, buruan pulang. Sudah mendung tuh” melangkah dengan rasa penasaran.
Hujan turun membasahi rerumputan, menghapus dahaga pepohonan, memandikan hewan ternak yang kepanasan, membawa kehidupan untuk padi-padi yang sedang menguning, mengisi penampungan air, dan sumur-sumur tua. Begitu membahagiakan rasanya melihat anak-anak bermain air. Berseluncur dengan gedebah pohon pisang, mandi dibawah kucuran air dari pipa-pipa rumah, bekejar-kejaran mencoba menangkap salah satu dari mereka untuk dijadikan sang pengejar baru. Begitu indahnya pemandangan ini sampai membuat lupa diri.
Indah tersenyum mendengar teriakan mereka, mengambarkan suatu kegirangan, kebahagiaan anak-anak yang tak pernah ia nikmati. Semua suara bising itu bercampur rinai hujan pada senja kali ini. Diam di kamar adalah satu-satunya pesan Emak pada Indah. Sejak kecil remaja ini tidak mempunyai seorang teman, hal terbaik yang ia punya hanya kesendirian. Kesendirian tak pernah melukainya, karena diluar sana anak-anak nakal siap mengejeknya bahkan melempari dengan kerikil. Terkadang ia hanya meringis menahan sakit.
Boomerang kesendirian kadang kala berbalik menyerangnya dan membuat ia bersedih hati menahan kesendirian yang membosankan. Sampai ia menemukan hal baru selain mengulung benang untuk menjahit baju-baju pesanan pelanggan. Itu karena ibunya seorang penjahit. Menjadi seorang penjahit satu-satunya yang bisa Buk Murni lakukan. Menjahit sudah menjadi keahliannya sejak di bangku SMK. Beliau membiayai sekolah sendiri dengan jasanya sebagai tukang jahit. Tidak banyak uang yang diperoleh dari menjual jasa menjahit, namun cukup untuk makan sehari-hari mereka berdua. Wajar saja beliau berjuang keras mencukupi kebutuhan hidup, suaminya sudah tiada pada usia kehamilan 7 bulan. Hal itu merupakan musibah terberat baginya.
Semilir angin membawa langkah Rafael menuju pemukiman sepi penduduk. Jalannya menanjak, dan hanya beberapa orang saja yang ia temui sepanjang perjalanan. Rafael sengaja tidak mengajak Melody hari ini. Rasa penasaran kemarin siang masih menyelimuti hatinya. Tak ingin terus dihantui perasaan itu, maka Rafael memberanikan diri berjalan hingga ke depan jendela kamar Indah.
Kesyahduan suara yang indah berseliweran dibawa hembusan angin. Keberadaan Rafael diketahui Buk Murni yang melihatnya melintasi pintu yang terbuka. Wanita itu kemudian menghampiri Rafael yang terpukau melihat pesona indah anaknya.
“Itu Indah, nak. Ada perlu apa ya?” sapaan hangat Buk Murni menyadarkan lamunan Rafael. Gambaran-gambaran itu buyar, berhamburan, lalu meletus dan hilang.
“Enggg.....anu bu. Hmm perkenalkan nama saya Rafael, kemarin saya lewat sini dan melihat anak Ibu” tangan Rafael menunjuk ke arah Indah.
“Indah tidak sekolah ya Buk?” pertanyaan Rafael membuat Buk Murni mendesah.
“Ibu ingin menyekolahkannya, tapi keterbatasan Indah membuatnya tidak diizinkan belajar di sekolah anak-anak normal.” Penjelasan Buk Murni membawa Rafael menerawang. Tatapannya kosong.
“Indah tunanetra, nak. Sejak kecil ia tidak bisa melihat. Syukurlah ia masih punya pendengaran yang tajam dan indera peraba yang baik. Semua ia lakukan dengan meraba-raba. Hal yang paling ia suka adalah bernyanyi dan mendengarkan kicauan burung di pagi hari.” Rafael mendengarkan dengan takzim.
Tatapan nanar Rafael pecah ketika Indah sudah tidak di depan jendela kamar lagi. Tiba-tiba ia sudah berdiri di teras rumahnya.
“Ibu ngobrol dengan siapa?” Indah tersenyum hangat pada lawan bicara ibunya, meskipun senyumnya mengarah ke arah yang salah.
“Ada nak Rafael. Dia mau berkenalan dengan kamu”, “Ayo sini, ngobrol dengan Indah. Ibu ambil minum dulu.” kaki tua itu masuk ke dalam rumah. Suasana jadi tak karuan, kedua anak muda itu mulai kikuk. Jantung berdetak hebat.
Dag dig dug der....
“Rafael” ia menjulurkan tangannya ke arah Indah. “Kamu Indah ya?” Rafael spontan menyambut uluran tangan Indah.
Suasana yang tadinya kelabu, kini mulai bewarna. Apalagi Rafael menceritakan hobinya bermain gitar. Indah langsung berdecak hebat mendengar cita-cita teman barunya itu yang ingin menjadi musisi hebat.
“Melodi gitar darahku mengalir deras ke otak dan membuatku sangat bersemangat” begitu tutur Rafael ketika ia jabarkan bahwa ia senang mendengarkan petikan gitar yang menimbulkan melodi indah, mengalun syahdu.
“Besok maukah kamu kesini lagi, Raf?” “Aku senang bisa memiliki seorang teman seperti kamu.” kali ini Rafael tersipu malu.
“Tentu saja, sepulang sekolah aku akan datang kesini lagi.” “Membawa gitar!” Rafael mengangguk menghadap buk Murni. Buk  Murni membalas anggukannya.
Keesokan pagi di Sekolah. Melody menemui Rafael. Gadis itu berlari mengejarnya. Namun tak berhasil. Langkah Rafael begitu cepat. Lalu, langkah itu berlabuh di sebuah rumah, ya rumah Indah. Ia membawa gitarnya. Indah sedari tadi menunggunya dengan tenang di depan teras rumahnya. Rafael menyapa Indah.
“Assalamualaikum ndah..” “Kamu sudah menunggu dari tadi ya? Aku minta maaf karena tadi harus pulang dulu ke rumah mengambil gitarnya.” Suara Rafael sangat ringan didengar, hati Indah semakin tenang. Kini ia berteman dengan seorang anak, bukan lagi seekor burung. Pikirnya.
Nyanyian mereka yang asal-asalan dengan petikan gitar yang mendayu. Simponi indah yang mereka ciptakan. Hanya mereka berdua yang tau. Buk Murni sempat berpamitan untuk mengantar jahitan yang telah selesai kepada pelanggan.
Tidak terasa hari mulai gelap, Buk Murni pulang membawa bungkusan makanan. Biasanya ibu itu membelanjakan hasil dari upah menjahitnya ke warung. Ia membeli beras, minyak, gula, dan teh. Kadang susu saset ia beli jika uangnya lebih. Indah suka sekali minum susu dengan teh. Rasa sepat teh bercampur manis dari susu. Lidahnya bergoyang mencapai susu dipinggiran mulutnya.
“Aku pulang ya, ndah. Sampai jumpa lagi. Nanti aku main-main kesini lagi deh.” Indah tidak berkata apapun, ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Kemudian ibu mengajak Indah masuk ke rumah.
Sudah tiga hari berlalu Rafael tak kunjung datang. Guratan kekecewaan tampak jelas di muka Indah. Meskipun Indah tidak menceritakan pada ibunya, wanita itu tetap tau bahwa anaknya sedang merindukan sosok yang ia tunggu-tunggu. Seperti saat ia menantikan ke pulangan sang Ayah.
Di kamar Rumah Sakit terbaring Melody. Tubuhnya lemas usai menjalani operasi usus buntu. Sudah 3 hari ia di rawat. Rafael selalu menemaninya sepulang dari sekolah. Melody memang berpesan agar Rafael di jemput untuk menemaninya selama rawat inap. Kondisi Melody yang lemah membuatnya tumbang hingga harus di rawat lebih lama. Ia benci bau Rumah Sakit.
“Kapan nek, Melody mau pulang nih!” Melody menggengam erat tangan sang nenek. Jawaban nenek hanya membuat gadis itu makin kesal. Mengatakan sabar bukanlah jawaban baginya.
“Rafael kamu kenapa, kok diem terus. Kamu disini kan untuk menghiburku!” lagi-lagi Melody sangsi.
“Aku pulang dulu, Mel. Udah malem, aku juga mau istirahat.” Rafael berpamitan pada nenek dan keluar dari pintu kamar itu.
Sikap Rafael mulai berubah pada Melody. Gadis itu merasa dirinya sudah tidak penting lagi. Pikirannya berputar-putar mengingat-ingat kalau saja ia pernah melakukan sesuatu yang dibenci Rafael. Sensornya tidak menemukan hal itu, tapi ia mengingat kejanggalan beberapa hari yang lalu. Saat mereka melihat seorang gadis, dan tatapan Rafael tak lekas lepas memantulkan wajah gadis misterius itu.
Aku harus mencari tau!!
Melody bangkit dari kasur dan mulai mengemasi barang-barangnya. Tidak lupa ia mengendong boneka kesayangan kado dari Rafael pada ULTAH ke-13 tahun kemarin. Baginya boneka itu sebagai penanda bahwa anak lelaki itu menyayanginya.
Dan harus tetap menyayangiku. Hanya aku!! Tidak boleh yang lain.
Minggu pagi Rafael dan Indah berjalan-jalan. Indah sangat bahagia bisa keluar rumah lagi. Inilah yang ia harapkan, ada seseorang yang menuntunnya pergi keluar. Kelembutan dan kesabaran Rafael memakin membuat Indah menyukainya. Tidak pernah ada yang tulus berteman dengannya. Biasanya ia hanya jadi bahan olokan anak-anak di kampungnya. Tapi sosok Rafael bagai pangeran berkuda putih menghampiri Rapunzel di menara, membebaskan dari belenggu, dan membawanya pergi dari sana.
Kebahagian dua orang itu menimbulkan kebencian di hati Melody. Matanya memerah, kristal bening menetes dari matanya. Kepalan tangan Melody membuat kulitnya memerah, begitu geramnya ia menyaksikan adegan tidak mengenakan itu. Kekecewaan pada Rafael memuncak hingga ia menghampiri kedua orang di depannya. Belum cukup tongkat Indah ia patahkan, refleks kedua tangannya mendorong gadis itu dengan kerasnya. Indah terjatuh dan memar di kedua telapak tangan karena menahan beban tubuhnya.
Rafael tercekat. Nafasnya seakan berhenti sesaat. Ia tersadarkan ketika melihat Indah terjatuh. Secepatnya ia angkat Indah dan melihat memar tersebut. Melody menjauh tiga langkah. Kemudian Rafael menghampirinya. Anak lelaki itu membentak Melody hingga teriakannya terdengar menakutkan. Melody menangis dan pergi begitu saja. Tidak pernah Rafael membentaknya seperti singa yang ngamuk. Sejahil apapun dia, Rafael selalu memakluminya.
Kepiluan Melody ia simpan sendiri. “Aku tidak boleh menangis. Ini semua karena gadis buta itu!!” Hati Melody makin membatu ketika pikiran jahat menghampirinya.
Menerima sosok gadis misterius itu di kehidupan kami, akan mendekatkan hubungan yang retak. Pasti Rafael akan kembali padaku. Ia tidak lebih baik dari aku. Ternyata dia buta.
Senin pagi, Melody kembali ke sekolah. Ia menemui Rafael yang sedang ngobrol dengan anak-anak OSIS. Mereka membahas tentang acara 17 Agustus yang akan di gelar nanti. Setidaknya usai lebaran mereka sudah memiliki ide untuk rangkaian acara agar meriah dan bermanfaat.
“Raf, aku mau minta maaf soal kemarin. Aku kesel kamu udah gak pernah lagi ngajak aku main. Kamu juga berubah. Kamu jauhin aku.” Rentetan sangsi Melody membuat Rafael maklum. Sesungguhnya ia masih kesal dengan kelakuan sahabatnya itu. Tapi ia bersedia memaafkan gadis itu.
“Ya udah, gak apa. Tapi tolong jangan sakitin Indah lagi. Kasian dia.”
Menerima permintaan maaf dari seseorang adalah suatu kebajikan. Namun meminta maaf pada orang lain tidak akan membuat hati lega, karena tindakan itu hanyalah penyesalan yang menyedihkan.
Pikiran itu membuat Rafael sadar bahwa bukan dia yang harus memaafkan Melody. Indah adalah orang yang disakiti kemarin.
“Oh iya, kamu juga harus minta maaf sama Indah. Dia yang kamu sakiti.” Terang Rafael.
“Baiklah. Antar aku ke rumahnya Raf.” Melody terpaksa mengikuti keinginan Rafael.
Kedatangan Rafael telah ditunggu-tunggu Indah, namun mendengar Melody juga berkujung semangatnya jadi layu. Indah masih belum melupakan hal yang menimpanya kemarin pagi. Buta membuatnya tidak berdaya. Tidak bisa menghindar dan bereaksi. Kekesalannya pada Melody ia tunjukan lewat jabatan tangan yang tak bersambut. Indah engan untuk mengulurkan tangannya. Sang ibu melihat peristiwa itu, lalu menasehati anaknya untuk bersikap ramah dan sopan pada teman.
Permintaan maaf Melody akhirnya diterima oleh Indah. Mereka mulai bercakap-cakap. Itulah khas anak-anak, usai bertengkar mereka akan bermain lagi seperti tidak ada masalah yang sempat terjadi. Melody juga mengambil hati Indah dengan menawarkan coklat rasa strawberry padanya. Coklat itu ia maksudkan untuk mengendurkan suasana agar makin akrab. Indah menyukainya. Rafael nampak senang, kedua sahabatnya mulai akrab.
Di rumah rafael melihat bundanya mondar-mandir. Nyimas kebingungan menyelesaikan disainnya. Belum lagi dua orang pekerjanya berhenti bekerja Yang satu karena sedang hamil besar, dan satunya pulang kampung. Dia harus mencari penganti penjahit andalanya itu.
Minimal satu orang sudah cukup. Tapi harus dicari kemana.
Dia berhenti sesaat dan menekan-nekan keningnya. Sampai ia mendengar anak lelakinya memanggil.
“Bunda, kenapa dari tadi gak bisa diem?” Rafael menertawakan ibundanya.
“Sumi dan Mirna udah berhenti kerja, Raf. Bunda binggung harus cari pekerja lain yang jahitannya bagus serta pekerja keras seperti mereka berdua.” Masih berpikir keras.
“Wah..wah..Rafael tau, Bun. Sahabat Rafael, ibunya penjahit. Bunda bisa melihat sendiri caranya menjahit.” Ide Rafael ditanggapi serius sang bunda.
“Besok anterin bunda kesana ya. Siapa tau cocok.” Ibundanya mulai lega dan kembali ke meja kerjanya.
Ketukan pintu membuat Buk Murni yang ada di dapur berlari untuk membukakan pintu. Tamu yang tak disangka. Rafael dan Bundanya mengucapkan salam ketika pintu dibuka. Mendengar suara Rafael, Indah keluar dari kamarnya.
“Bun, ini Indah sahabatnya Rafa. Dan ini ibu Murni, ibunya Indah” wajah Rafael memerah memperkenalkan dua orang baru untuk ibundanya.
“Salam kenal, saya Nyimas. Ada yang ingin saya tawarkan pada Ibu.” Buk Murni mengizinkan mereka masuk dan berbincang-bincang. Suara mesin jahit terdengar. Bu Murni sedang menjahit, menunjukan kecekatannya menjahit dan jahitannya rapi.
Senyuman sumringah mengembang dari bibir cantik Nyimas. Ia terpukau pada kelincahan tangan Bu Murni. Kepalanya mengangguk-angguk pada sang anak. Inilah yang dicari. Pasangan duet yang dia harap-harapkan selama ini, karena tanpa jasa penjahit apalah arti disain-disain cantik dan elegan yang telah dibuat.
“Buk Murni mau kerja di tempat saya?” nada bicara Nyimas yang santun membuat Bu Murni tidak bisa mengatakan ‘tidak’.
“Kemampuan saya masih amatiran, Buk. Saya belum pernah menjahit dengan jahaitan yang rumit. Masih alakadarnya.” Bu Murni merendah, takut mengecewakan.
“Tidak apa-apa, nanti bisa belajar menyesuaikan jahitan. Lama kelamaan akan terbiasa Buk” tangan Nyimas menyentuh pungung tangan Bu Murni. Bu Murrni mengangguk mengiyakan.
Pekerjaan Bu Murni memuaskan, Nyimas menyukai cara kerjanya. Hasil kerjanya juga bagus. Mereka cepat sekali akrab. Apalagi selama ini Nyimas sibuk dengan kerjaannya hingga tak sempat bercengkrama dengan seorang teman. Bu Murni sudah ia anggap seperti kakak. Umur Nyimas terpaut 3 tahun lebih muda dari Bu Murni.
Pulang ke rumah pun jadi lebih menyenangkan, rumah jadi ramai. Apalagi Indah ikut ibunya bekerja. Suasana rumah yang awalnya seperti kantor jadi seperti rumah sesungguhnya. Suara tawa riang, obrolan menyenangkan, dan kebersamaan membuat kesan persaudaraan begitu kental. Nyimas juga menyiapkan makan siang dan membawakan makan malam untuk dibawa pulang Bu Murni.
Di halaman depan, Rafael dan Indah sedang menyirami bunga-bunga di kebun kecil milik ibundanya. Keisengan Rafael menyiprati tubuh Indah membawa sakit hati bagi Melody. Kesekian kalinya dia harus melihat peristiwa menyebalkan seperti ini. Kehitaman hatinya terus menjalar hingga keotaknya. Ia ingin sekali menghampus nama Indah di kehidupan Rafael.
Tiba-tiba saja sebuah mobil menabrak tubuh gadis itu hingga terpental jauh. Kepalanya berdarah. Decit ban mobil san suara orang berteriak membuat orang-orang keluar rumah. Kerumunan orang dan sirine ambulance menambah kepanikan Nyimas dan Bu Murni, mereka juga bergegas melihat keramaian tersebut. Kepolisian tiba meringkus pengendara mobil yang mabuk di siang hari. Pria itu mengaku frustasi karena di pecat dari pekerjaannya.
Jantung Nyimas berdetak tak karuan ketika sosok yang dibawa masuk ke mobil ambulance itu adalah sosok yang ia kenal baik. Rafael terdiam menitihkan air mata. Nyimas meminta Bu Murni menemani Melody selama di perjalanan menuju Rumah Sakit. Dia buru-buru menghubungi nenek Melody dan membanting setir mengikuti ambulance yang melaju kencang.
Sesampainya di Rumah Sakit, nafas Melody terengah-engah. Ia meneteskan air mata. Kepalanya terasa sangat sakit, hingga ia mati rasa. Tubuhnya berlumuran darah. Matanya terus mencari sosok cantik yang ingin ia temui untuk terakhir kalinya. Kemudian matanya menemukan sosok itu.
“Indah.......” suaranya begetar menyebutkan nama itu. Dokter langsung mencari pemilik nama yang baru saja disebutkan pasiennya. Indah dipanggil untuk mendekat. Wajahnya penuh air mata, meskipun ia tidak bisa melihat keadaan tragis Melody.
“Indaaah.. aku ingin kamu terus bersama Rafael. Dan membawa bagian dari diriku bersamamu” detak jantung Melody kian pelan.
“Apa maksudmu Melody?” suara Indah tercekat.
“Mataku untukmu. Aku tak ingin mata ini sia-sia. Setiap manusia pasti mati kan, hanya Allah yang kekal. Dan aku telah memendam dendam. Mataku buta, tidak bisa melihat sinar terang darimu sobat” senyum Melody untuk terakhir kalinya membuat Rafael berlari kearahnya, mengengam tangannya, dan menangis sejadi-jadinya.
Indah masih terpaku saat dokter meminta mereka menunggu di luar. Dokter mengerti maksud anak itu. Ia dan timnya langsung bergerak ke meja operasi. Sepasang mata hadiah untuk persahabatan singkat ini. Transplantasi mata untuk Indah. Tangisan masih menyelimuti lorong kamar itu. Kedua orangtua Melody tiba dengan rasa penyesalan karena merasa bersalah tidak bisa menjaga anaknya hingga harus tewas.
Jam terus berdetak, operasi transplantasi mata dijalani Indah dengan rasa was-was bercampur dengan harapan yang indah. Keluarga Melody menyiapkan pemakaman untuknya. Sementara Indah harus beristirahat di Rumah Sakit. Matanya diperban. Dokter bilang operasinya berjalan dengan lancar, tinggal menunggu keajaiban untuk bisa melihat dengan mata baru milik sahabatnya.
Nyimas dan Rafael menuju kepemakaman bersama keluarga Melody dan warga setempat. Keluarga sudah menerima kepergian Melody, tidak perlu terus menangisi kepergiannya. Meskipun luka dihati masih membekas penuh penyesalan.
Atas instruksi Dokter, seminggu kemudian perban yang melingkar di kepala Indah perlahan dibuka. Dokter belum mengizinkan membuka mata.
“Kamu bisa merasakan cahaya masuk ke matamu, nak?” Indah mengangguk.
“Mantapkan dirimu, hitungan ketiga bukalah perlahan kelopak mata itu!” Dokter menatap Bu Murni dan tersenyum dengan maksud menenangkan.
Nyimas dan Rafael masuk. Mereka lah yang pertama kali Indah lihat. Pandangan Indah masih buram, namun kedua wajah itu mampu ia tangkap. Kebahagiaan yang luar biasa ini ia dapat dari seorang yang berhati emas, Melody. Kalau saja ia tidak memberikan matanya, maka melihat orang-orang yang disayanginya hanyalah mustahil baginya. Harapan kosong. Kemudian Indah menoleh kekanan, jemari ibunya yang hangat. Ia tau itu adalah ibu yang ia cintai.
Pelukan hangat ibu menenangkan. Sosok ibu, surgaku. Kini bisaku lihat.
Keesokan harinya Indah meminta diantarkan berziarah ke mahkam Melody. Teman, sahabat, saudara, sekaligus mata baginya. Semua berkat dia. Rafael membawakan foto-foto Melody. Ekspresi Melody ketika marah, kesal, senewon, senang, bahagia, semuanya dirangkum dalam satu album kenangan.
Aku memang tidak mengenal Melody, namun aku memahami hatinya. Ia hanya ingin diperhatikan. Dia kesepian. Aku telah merebut Rafael darinya tanpa sengaja. Akulah yang harus meminta maaf.
“Melody, terimakasih untuk mata yang kau berikan. Atas kesempatan melihat indahnya dunia. Aku akan terus mengenangmu dikalbuku. Kau sahabat terbaikku. Akan ku ceritakan kisah ini pada anak cucuku kelak, agar mereka makin mensyukuri hidup. Mencintai sesama, dan menjaga persahabatan.” Indah menutup matanya dan membayangkan sosok Melody datang, tersenyum bahagia, dan melambaikan tangan.

Note: Pernah diikut sertakan Lomba Cerpen PasificPress

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAPPILY!!

Puisi Untuk Sahabat